Sabtu, 20 Oktober 2012

Hutan Kota, Sebagai Prasarana Pendidikan Lingkungan

Kalau kita perhatikan, sekarang ini semakin banyak kerusakan yang terjadi di lingkungan sekitar. Di pinggir-pinggir jalan biasa ditemukan sampah-sampah yang berserakan, hutan yang dulunya rimbun dengan pepohonan sekarang berubah menjadi perumahan penduduk dan air sungai yang dulunya jernih sekarang menjadi keruh. Dalam 15 tahun terakhir kerusakan hutan di Kalsel sudah mencapai 1,174 juta hektar pertahun pada periode 2003-2007. Kerusakan tersebut mengakibatkan banjir dan longsor sehingga selama 2007 di Kalsel terjadi banjir sebanyak 32 kali dan diperkirakan akan terus meningkat sepanjang tahun (Kompas, 2009). Penyebabnya tidak lain karena ulah manusia.

Namun tidak cukup sampai di sana, lingkungan terus “tersakiti” dengan adanya pencemaran. Pemandangan sungai dengan banyak sampah menjadi pemandangan yang kerapkali kita temui, dikarenakan pola pikir masyarakat yang menjadikan sungai sebagai “tempat sampah”, terutama bagi masyarakat yang bermukim di pinggiran sungai. Sungai biasanya dimanfaatkan masyarakat untuk mencuci, mandi, buang hajat bahkan ada yang mengambil air sungai untuk diminum. Akibatnya apabila sungainya tercemar, akan berakibat bagi kesehatan masyarakat.

Berdasarkan penelitian Kementrian Lingkungan Hidup, sungai di Kalsel termasuk golongan tercemar berat ketiga se Indonesia, setelah Jakarta dan Kalteng. Dengan sungai Barito yang memiliki kandungan air raksa (Hg) tertinggi yaitu 0,751, dibandingkan dengan standar baku mutu yakni 0,001. Pencemaran ini dikarenakan penggunaan sungai Barito untuk mengangkut batubara serta dari limbah rumah tangga seperti baterai (Banjarmasinpost, 2011). Kandungan zat berbahaya ini tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan. 

Walaupun semua kerusakan sudah tampak di depan mata, namun penanganannya masih belum optimal. Ini dikarenakan semua pihak saling menyalahkan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Pemerintah kerapkali menyalahkan masyrakat sebagai penyebab pencemaran lingkungan karena kegiatan mereka sehari-hari yang kurang ramah lingkungan seperti buang sampah sembarangan. Namun masyarakat tidak ingin tinggal diam, mereka menuding bahwa pemerintahlah yang seharusnya paling bertanggung jawab. Masyarakat menilai pemerintah telah gagal dalam penegakan hukum untuk mencegah segala kerusakan dan pencemaran lingkungan. Di luar dari siapa yang salah dan siapa yang benar, seharusnya masyarakat maupun pemerintah saling bekerja sama untuk menangani permasalahan yang sudah terlanjur ada. Oleh karenanya diperlukan kesadaran dari masing-masing pribadi untuk menjaga lingkungan walaupun dimulai dari hal-hal yang kecil.

 Pendidikan lingkungan

Banyak wacana yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai usaha untuk mencegah kerusakan maupun pencemaran lingkungan. Dimulai dari memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang ancaman dari adanya kerusakan lingkungan sampai memberikan hukuman bagi pihak atau perorangan yang melakukan kegiatan yang dapat merusak lingkungan. Namun nyatanya sampai sekarang masih banyak lingkungan yang mengalami kerusakan, bahkan pencemaran yang ada di lingkungan semakin mengkhawatirkan.

Masyarakat yang memiliki kecintaan terhadap lingkungan, secara otomastis akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga lingkungannya tetap asri. Tanpa adanya penyuluhan maupun ancaman, masyarakat memiliki kesadaran bahwa lingkungan sekitar tempat tinggalnya perlu di jaga demi kesejahteraan hidup mereka sendiri. Karena adanya kerusakan pada lingkungan justru mengancam kehidupan manusia dengan timbulnya bencana-bencana alam yang seringkali banyak menelan korban.

Pendidikan lingkungan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan, sehingga masyarakat menjadi sadar akan arti pentingnya lingkungan yang asri. Pendidikan tidak hanya bisa di dapat di bangku sekolah, tetapi juga bisa dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga.

Bentuk nyata pendidikan dalam keluarga mengenai lingkungan yaitu dengan mengajarkan anak-anak untuk membuang sampah di tempatnya, menaman pepohonan di pekarangan rumah sehingga bisa sambil mengajarkan anak-anak untuk merawat tanaman, serta banyak lagi yang bisa disampaikan oleh orang tua kepada anaknya untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap lingkungan.

Selain dalam lingkungan keluarga, pendidikan juga dilaksanakan di sekolah sebagai sarana pendidikan formal. Pada kurikulum pembelajaran mulai dari tingkat SD, SMP, maupun SMA terdapat pembahasan mengenai lingkungan dan kegiatan-kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Sehingga pada kegiatan pembelajaran di sekolah, guru sudah kerapkali menyampaikan tentang etika lingkungan maupun dampak buruk yang terjadi apabila lingkungan rusak atau tercemar. Pertanyaannya sekarang adalah apakah semua upaya tersebut sudah membuahkan hasil? Jawabannya dapat kita simpulkan sendiri dengan melihat langsung lingkungan sekitar kita. Berita mengenai bencana alam masih sering kita dengar atau kita baca di media cetak maupun media elektronik. Ini berarti kerusakan lingkungan masih terus berlangsung.

Pendidikan yang diberikan kepada siswa hendaknya memiliki kebermaknaan, tujuannya agar pengetahuan yang diterima oleh siswa nantinya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya setelah mendapat pengetahuan mengenai proses fotosintesis, siswa memahami manfaat tumbuhan dalam menghasilkan O2 dan menyerap CO2 sehingga mereka memiliki kesadaran untuk menanam pohon dan menjaga lingkungan tetap asri. Kebermaknaan dalam kegiatan pembelajaran didapatkan dengan menggunakan teknik pembelajaran yang tepat dan adanya prasarana yang mendukung.

Hutan kota

Dalam kegiatan pembelajaran, pada umumnya suatu konsep disampaikan secara teori sehingga pembelajaran berjalan searah. Setelah guru menyampaikan dampak yang terjadi akibat penggundulan hutan, tugas siswa hanyalah “menghapal” beberapa dampak tersebut, dan pengetahuannya sampai di sana saja. Akibatnya masih kurang menyentuh kesadaran siswa, sehingga hanya untuk menyadarkan siswa untuk membuang sampah pada tempatnya pun masih sangat sulit.

Pendidikan yang dilaksanakan dengan menggunakan prasarana belajar, konsep yang diterima akan lebih bermakna. Dengan mempelajari bahwa tumpukan sampah dapat menghasilkan gas metana yang berbahaya, pemikiran anak akan sampai kepada proses daur ulang untuk mengurangi produksi sampah. Sehingga diharapkan dapat tercipta masyarakat asri yang ramah terhadap lingkungan.

Lingkungan sekitar sekolah dapat dijadikan sebagai prasarana dalam pendidikan lingkungan. Namun masalahnya adalah bagaimana kalau sekolahnya terletak di tengah perkotaan yang tentunya lahan yang rimbun sudah sangat jarang di temui.

Pembangunan di daerah perkotaan berkembang dengan pesat, yang semuanya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Adanya pembangunan pabrik-pabrik industri maupun pembukaan lahan untuk dijadikan pemukiman penduduk. Selain itu untuk mempermudah transportasi, dibangunlah berbagai sarana seperti pembuatan dan pelebaran jalan. Semua pembangunan ini bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Namun nyatanya perkembangan tersebut malah merusak lingkungan dengan banyaknya sumbangan zat pencemar dari pabrik-pabrik maupun dari alat transportasi yang menyebabkan konsentrasi CO2 di lingkungan semakin meningkat.

Konsentrasi CO2 yang seimbang di lingkungan tentunya tidak akan menimbulkan masalah karena bermanfaat dalam proses fotosintesis, namun apabila konsentrasinya meningkat dan tanpa diimbangi dengan banyaknya jumlah tanaman di lingkungan sekitar maka akan menimbulkan yang namanya pencemaran udara. Oleh karena itu untuk mengimbanginya, perlu adanya hutan di tengah-tengah perkotaan.

Penempatan hutan di perkotaan tidak hanya menjadikan daerah perkotaan tersebut menjadi sejuk dan indah dipandang. Selain itu, hutan kota juga dapat menjadi prasarana untuk pendidikan lingkungan. Karena letaknya berada di tengah kota, tentunya penggunaan hutan kota sebagai prasarana pendidikan sangat memungkinkan. Siswa bisa di ajak berkeliling ke dalam hutan kota untuk merasakan sejuknya daerah dengan pepohonan yang rimbun, selanjutnya siswa dapat dikenalkan dengan berbagai jenis tanaman yang beranekaragam.

Dengan mengunjungi hutan, siswa mendapatkan pengetahuan mengenai jenis-jenis pohon yang ada, misalnya dengan memberi keterangan nama pohon-pohon beserta dengan ciri-ciri morfologinya pada setiap tanaman. Jenis-jenis pohon tersebut misalnya seperti ketapang (Terminalia catappa), akasia (Acacia auriculiformis), rambutan (Nephelium lappaceum), kayuputih (Melaleuca leucadendron) dan masih banyak lagi yang lainnya. Dengan begitu, siswa dapat melihat langsung bagian-bagian tanaman mulai dari bentuk daun, bunga dan buahnya.

Selain tanaman, pada habitat aslinya siswa mengetahui kalau di hutan terdapat berbagai hewan seperti burung yang membantu penyebaran biji maupun yang membantu proses penyebukan seperti kumbang. Dengan melihat secara langsung semua komponen yang seharusnya ada dalam suatu ekosistem, siswa dapat menyadari kalau merusak salah satu komponen tersebut maka akan berdampak kepada keseluruhan. Setelah adanya kesadaran pada masing-masing pribadi dan ditanamkan sejak dini, diharapkan nantinya akan tercipta masyarakat yang berpendidikan lingkungan. Agar segala kerusakan yang terjadi di lingkungan dapat berkurang. Semua upaya ini semata-mata demi anak cucu kita di masa yang akan datang, agar masih bisa menikmati kekayaan sumber daya hayati yang kita miliki saat ini.

REFERENSI

BanjarmasinPost. 2011. Kalsel urutan ketiga sungai paling tercemar. http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/2011/4/14/82212/kalsel-urutan-ketiga-sungai-paling-tercemar .(19 April 2011). 

Kompas. 2009. Gila! Tingkat Kerusakan Hutan Kalsel Mencapai 1,174 Hektar. http://regional.kompas.com/read/2009/11/27/17431418/Gila.Tingkat.Kerusakaan.Hutan.Kalsel.Mencapai.1.174.Juta.Hektar.  (19 April 2011).


0 komentar:

Posting Komentar